Kamis, 25 Desember 2008

kartini

Gender & Kekerasan terhadap Perempuan
Refleksi Wafatnya RA Kartini bagi Para Suami

Oleh: Wisnu Adi Yulianto
MESKIPUN bangsa ini selalu mengenang jasa-jasa perjuangan RA Kartini, banyak yang lupa bagaimana beliau meninggal. Tokoh emansipasi wanita Indonesia dari Jepara ini wafat pada usia 25 tahun, yaitu empat hari setelah beliau melahirkan putra pertamanya. Kebanyakan kita memutus, itu adalah takdir. Memang demikian adanya. Akan tetapi, ada yang agaknya terlupakan bahwa melahirkan itu berisiko membawa kematian.
SEANDAINYA setiap peringatan Hari Kartini, Hari Ibu, dan Hari Wanita bangsa ini bersungguh-sungguh memperhatikan kesehatan maternal (ibu hamil dan melahirkan), boleh jadi angka kematian ibu tak setinggi 470 per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu demikian memprihatinkan karena paling tinggi di kawasan ASEAN.
Ketidaktahuan bahaya itu hingga kini masih dialami sebagian para suami. Tak berlebihan jika Ranson dan Yinger (2002) dari Population Reference Bureau (Amerika) dalam bukunya, Making Motherhood Safer, mengutip ungkapan lelaki Indonesia yang istrinya meninggal saat melahirkan, "Tak seorang pun memberi tahu kepadaku. Saya tak tahu bahwa istriku dapat meninggal karena melahirkan. Laki-laki akan mengerjakan sesuatu yang lebih jika kami tahu risikonya sebesar itu."
Oleh karena itu, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, petugas dan penyuluh kesehatan, serta seluruh lapisan masyarakat seyogianya terpanggil ikut menyebarluaskan informasi dan pengetahuan, khususnya bagi para pria yang telah berkeluarga (suami), bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan agar istrinya yang hamil dan melahirkan dapat selamat. Suami sebagai kepala keluarga memiliki posisi strategis dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat sehingga istrinya tidak tertunda untuk memperoleh pertolongan dari petugas medis dan mendapat pelayanan kesehatan yang standar.
SEBAGAIMANA dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1999, sekitar 80 persen kematian maternal merupakan akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan. Sisanya, 20 persen, kematian maternal secara tak langsung disebabkan oleh anemia, malaria, hepatitis, sakit jantung, dan diabetes.
Kebanyakan kematian maternal tersebut sesungguhnya dapat dicegah jika mereka mendapat pertolongan dokter, bidan, atau perawat. Sayangnya, justru mereka terlambat memperoleh pertolongan karena tidak mengenali tanda-tanda komplikasi yang mengancam jiwa, lamban mengambil keputusan mencari pertolongan, sangat jauh untuk mendapatkan perawatan yang memadai, dan kalaupun memperoleh pelayanan kesehatan di bawah standar. Di sinilah sekali lagi peran suami sangat dibutuhkan.
Untuk menurunkan angka kematian maternal di negeri ini, diperlukan gerakan nasional yang juga melibatkan peran aktif bapak dan calon bapak. Sebagai momentum gerakan ini dapat diawali melalui peringatan Hari Bapak. Hari itu setidaknya dapat digunakan untuk introspeksi para bapak apakah telah bertanggung jawab terhadap anak dan istri, termasuk keselamatan istrinya sewaktu hamil dan melahirkan. Keteladanan bapak yang baik tidak saja membangun keluarga yang sejahtera, tetapi juga akan melahirkan generasi yang lebih baik. Bukankah masyarakat dan bangsa ini merupakan kumpulan dari keluarga?
Mengingat demikian penting posisi suami di dalam keluarga, mereka semestinya dapat melakukan tindakan nyata bagi keselamatan istrinya yang hamil dan melahirkan. Bentuk partisipasi itu di antaranya adalah 1) merencanakan keluarga.
Langkah pertama ini, misalnya, menentukan berapa jumlah anak yang diinginkan dan berapa tahun jarak kelahirannya. Hal ini akan mendorong pemikiran bersama suami istri untuk menentukan bagaimana caranya.
Perlu disadari bahwa kematian maternal menjadi berisiko tinggi jika terlalu banyak anak, terlalu rapat jarak kelahiran, terlalu tua, dan terlalu muda pada saat melahirkan. Usia kurang dari 20 tahun dan lebih tua dari 35 tahun, jumlah anak lebih dari empat, serta jarak kehamilan kurang dari dua tahun dan anemia ternyata berisiko tinggi terhadap kematian maternal.
Seorang ibu setelah melahirkan memerlukan dua atau tiga tahun untuk dapat memulihkan kondisi tubuhnya dan mempersiapkan diri untuk persalinan yang berikutnya. Tanpa perencanaan, kehamilan yang tidak dikehendaki umumnya diakhiri dengan aborsi, dan praktik aborsi yang tak aman justru meningkatkan kematian maternal.
2) Mendukung penggunaan kontrasepsi. Suami mengajak istri ke dokter atau petugas keluarga berencana untuk bersama-sama berkonsultasi dan menentukan jenis kontrasepsi terbaik untuknya. Mengantisipasi jika terjadi efek samping dan bagaimana cara mengatasinya, serta memilih kontrasepsi yang cocok, merupakan hal penting yang harus didiskusikan dan diputuskan bersama.
3) Membantu agar istri tetap sehat. Suami istri wajib belajar untuk mengetahui gejala-gejala komplikasi kehamilan. Oleh karena itu, suami perlu mengajak atau menemani istrinya ke dokter atau klinik untuk berkonsultasi dan mendapatkan pelayanan antenatal (sebelum kelahiran) yang tepat. Pemeriksaan ini langkah penting demi keselamatan dan kesehatan istri dan anak yang dikandung.
Selain itu, istri maupun janinnya harus mendapatkan asupan gizi yang baik. Untuk itu, suami semestinya menyediakan gizi yang sehat bagi keluarganya, terutama makanan yang kaya zat besi dan vitamin A.
Anemia, kekurangan zat besi, walaupun tak secara langsung menyebabkan kematian maternal, hal itu merupakan faktor penyebab kematian maternal. Dari hasil penelitian secara umum dapat dikemukakan, ibu yang anemia berisiko lima kali lebih besar mengalami kematian dibandingkan dengan ibu yang tak anemia. Demikian pula untuk peranan vitamin A. Vitamin ini selain menjaga kesehatan mata ibu dan janinnya, juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh, di antaranya dapat mencegah terjadinya infeksi. Hasil penelitian telah menunjukkan suplemen vitamin A pada masa kehamilan terbukti dapat menurunkan angka kematian maternal dan bayi.
4) Merencanakan persalinan dibantu oleh dokter atau petugas terlatih. Setelah berkonsultasi dengan petugas kesehatan yang terlatih atau dokternya, suami dapat merencanakan kapan dan di mana persalinan sebaiknya dilakukan sehingga tak terjadi keterlambatan dalam memperoleh pertolongan persalinan. Untuk itu, perlu disiapkan kendaraan dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk persalinan dan anak yang baru lahir.
5) Menjaga kesehatan istri setelah melahirkan. Kebanyakan kematian maternal terjadi tiga hari sehabis melahirkan karena terserang infeksi. Untuk itulah, suami juga perlu belajar hal-hal yang berkaitan dengan komplikasi postpartum ini dan mencari pertolongan jika terjadi. Dikarenakan kondisi kesehatan istri masih rentan dan masih menyusui, suami perlu menyediakan makanan bergizi dan membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah.
Ir Wisnu Adi Yulianto, MP Dosen Universitas Wangsa Manggala, Yogyakata
sumber: Harian Kompas, Senin, 19 April 2004

1 komentar:

  1. P Wisno Kita lagi Tanam Singkong untuk deversivikasi pangan. Khususnya pengganti Gandum di Daerah Garum Blitar. Mohon masukan-nya.
    Agustan Tuk: 0341 726861
    Achmad Winarko: 081334955260

    BalasHapus